ZAT ADITIF PADA MAKANAN
A. PENGERTIAN ZAT ADITIF
Zat aditif pada makanan atau disebut juga bahan tambahan makanan menurut pengertian dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingreditas (komposisi) khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatannya, dan untuk menghasilkan dan mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Zat aditif pada makanan tersebut tidak boleh digunakan untuk menutupi kerusakan dari makanan.
B. FUNGSI ZAT ADITIF
Zat aditif yang ditambahkan pada makanan bukanlah masalah baru. Sejak zaman prasejarah, menusia telah menggunakan garam untuk mengawetkan ikan dan daging. Rempah – rempah sudah digunakan pada masa Mesopotamia Purba sebagai bumbu dan pengharum makanan. Peralihan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri serta semakin meningkatnya proses urbanisasi telah meningkatkan penggunaan zat aditif pada makanan.
Pada zaman modern dewasa ini, kompetisi pemasaran menyebabkan kalangan industri memakai lebih banyak zat aditif agar produk makanan mereka lebih lezat dan lebih menarik. Disamping zat aditif yang memang perlu ditambahkan untuk meningkatkan nilai gizi makanan, biasanya lebih banyak lagi zat aditif yang tidak mengandung nilai gizi. Zat yang disebut terakhir ini meliputi zat pewarna, zat penyedap, zat pemanis, zat pengharum dan zat pengawet. Karena zat aditif sangat banyak, orang sering memperingatkan agar kita berhati – hati dengan “makanan yang mengandung zat kimia”. Sudah tentu pemikiran tersebut agak lucu, sebab makanan sendiri adalah zat kimia. Yang perlu diperhatikan adalah beberapa zat kimia tertentu dalam makanan yang mungkin membahayakan kesehatan kita.
Tidak dapat disangkal bahwa zat aditif banyak yangmenguntungkan dan berguna bagi kesehatan. Untuk mencegah penyakit gondok, tubuh kita perlu iodine yang cukup sehingga garam dapur (NaCl) perlu ditambahi kalium iodide (Kl) atau kalium iodat (KlO3).
Jika kita banyak memakan bahan segar dari alam, mungkin tubuh kita tidak memerlukan vitamin tambahan. Akan tetapi, pada zaman modern ini makin banyak makanan yang diproses oleh pabrik dan pengolahannya sering mengurangi vitamin yang dikandung makanan tersebut. Oleh karena itu, pada makanan produk industri perlu ditambahkan vitamin tertentu. Misalnya, vitamin A ditambahkan pada margarin, vitamin B1 pada beras, vitamin C pada minuman botol dan vitamin D pada susu.
C. JENIS – JENIS ZAT ADITIF SERTA BAHAYA DAN KERUGIANNYA
Untuk zat aditif alami (dari alam) tidak banyak menimbulkan bahaya bagi kesehatan, sedangkan untuk zat aditif sintetis sering menimbulkan resiko bagi kesehatan.
1. Pemakaian Penyedap Rasa
Penyedap rasa yang umum digunakan adalah Vetcin atau Mono Sodium Glutamat (MSG) merupakan garam dari asam glutamat yang merupakan asam amino yang sering terdapat pada hasil fermentasi pembuatan kecap. MSG dibuat dari hasil fermentasi tetes tebu (karbohidrat) dengan bantuan bakteri Micrococcus Glutamicus. Dalam jumlah yang wajar tidak menimbulkan risiko, tetapi jika dalam jumlah yang berlebih MSG dapat menimbulkan gejala “Chinese Restaurant Syndrome” yaitu gejala dengan adanya rasa haus, sesak nafas, letih atau sakit kepala. Di Negara maju MSG masih dipertentangkan, hanya tidak boleh untuk makanan bayi dibawah 3 bulan.
2. Pemakaian Pemanis Sintetis
Untuk mencegah kegemukan, kini banyak dipakai pemanis yang tidak berkalori sebagai pengganti gula. Pemanis yang paling banyak digunakan dalam makanan dan obat – obatan adalah sakarin yang manisnya 500 kali gula dan natrium siklamat yang manisnya 50 kali gula. Akan tetapi, sejak dasawarsa 1970-an badan FDA di Amerika Serikat telah melarang penggunaan natrium siklamat yang dicurigai sebagai penyebab kanker.
Pada permen, kini banyak digunakan sorbitol, yaitu suatu senyawa polihidroksi yang mengandung kalori sama dengan gula. Dibandingkan gula, keunggulannya adalah tidak terurai dalam mulut sehingga tidak merusak gigi. Akan tetapi, pemakaian sorbitol yang terlalu banyak dapat menimbulkan diare
Tingkat kemanisan aspartan 200 kali gula. Banyak digunakan untuk mengganti gula pada penderita diabetes dan yang melakukan diet.
3. Pemakaian Pewarna
Zat pewarna dimaksudkan untuk membuat makan lebih menarik sehingga diharapkan nafsu makan bertambah dan dari segi bisnis makanan semakin laris. Zat pewarna yang diperoleh dari nabati (tumbuhan) umumnya tidak menimbulkan efek samping, misalnya warna merah dari tomat, kuning dari kunyit, oranye dari wortel, hijau dari daun suji atau pandan dan lain sebagainya. Ada juga zat warna yang berfungsi sebagai vitamin tambahan, misalnya β – karoten dari wortel yang dipakai untuk mewarnai mentega atau margarine. Tubuh kita akan mengubah β - karoten menjadi vitamin A. akan tetapi, kebanyakan zat warna hanya berfungsi untuk estetika dan tidak mengandung nilai gizi.
Dalam bidang industri kini makin banyak dipakai zat pewarna sintetik, karena zat pewarna alami mudah memudar dan kurang cemerlang warnanya. Sudah tentu zat – zat sintetik ini tidak boleh membahayakan kesehatan. Di Amerika Serikat, badan FDA ( Food and Drug Administration) telah melarang pemakaian beberapa zat pewarna makanan yang terbukti bersifat karsinogen (penyebab kanker).
Pewarna yang dugunakan oleh Depkes RI dikelompokkan :
a. Pewarna alami : β – karoten, khlorophyl, kurkumin, caramel.
b. Pewarna sintetis : tartazin, karmoisin, biru berlian, teritrosin,
indigotin, sunset yellow FCF, hijau FCF, poncean 4R dan lain sebagainya.
Pewarna sintetis yang diizinkan jika digunakan dalam jumlah wajar, tidak menimbulkan risiko. Tetapi ada beberapa pewarna sintetis dalam jumlah berlebih akan menyebabkan kanker kandung kemih dan kelainan pada ginjal.
Pewarna yang dilarang Depkes RI adalah pewarna sintetis untuk tekstil, tetapi disalah gunakan (dipakai untuk makanan). Misalnya rhodamin B, auramin, magneta dan lainnya yang banyak dipakai pada terasi, sirup atau makanan tanpa izin Depkes RI. Pewarna ini berbahaya dan akan terakumulasi pada tubuh dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, kandung kemih dan kanker.
4. Pemakaian Pengawet
Penambahan zat pengawet pada makanan bertujuan untuk menghambat pertumbuhan jamur atau bakteri serta untuk memperlambat oksidasi yang dapat merusak makanan. Makanan produk industri yang menggunakan minyak tumbuhan atau lemak hewan sangat perlu ditambahi zat pengawet.
Untuk mencegah pertumbuhan jamur dan bakteri, zat pengawet yang banyak dipakai adalah natrium benzoate. Zat itu aman dan tidak berbahaya. Adapun untuk memperlambat oksidasi, sering digunakan dua zat antioksidan yang disebut BHT (butyl hidroksi toluene) dan BHA (butyl hidroksi anisol)
Penelitian akhir – akhir ini menunjukkan bahwa pemakaian BHT sebagai zat pengawet mengandung keuntungan dan kejelekan. BHT dapat menyembuhkan tumor dan membuat awet muda. Akan tetapi, pemakaian BHT yang terlalu banyak juga dapat menimbulkan alergi.
Satu lagi zat yang dibolehkan dipakai sebagai pengawet adalah K-sorbat. Dimana kedua zat ini dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet yang paling aman adalah asam cuka (untuk acar) dan garam (untuk asinan ikan dan telur). Pengawet yang dilarang pemerintah adalah asam salisilat.
5. Pemakaian Pengharum
Zat pengharum pada makanan umumnya merupakan ester yang memberikan aroma buah, seperti amil asetat (pisang), amil valerat (apel), etil butirat (nenas), butyl propionat (rum) dan propil asetat (pear).
Diantara zat aditif pada makanan, zat pengharum ini boleh dikatakan paling aman dan belum pernah terdengar menimbulkan efek samping yang merugikan.
D. BATAS PENGGUNAAN
Batas penggunaan bahan tambahan makanan di atur oleh Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan.
Batasan penggunaan berdasarka risiko adalah ADI (Acceptable Daily Intake) yaitu batasan yang tidak menimbulkan risiko / bahaya jika dikonsumsi oleh manusia. Perhitungannya dengan menggunakan per kilogram bobot badan.
Zat Aditif Batasan PERMENKES RI per Kg Makanan Batasan ADI per Kg Bobot Makanan
BHA
BHT
Asam Asetat
Asam Sitrat
Sakarin
Siklamat
Aspartan
Asam Benzoat
Asam Sorbat
Beta Karoten
Karamal
Tartrazin
Karmoisin
Eritrosin
MSG 100 mg – 1000 mg
100 mg – 1000 mg
secukupnya
5 g – 40 g
50 mg – 300 mg
500 mg – 3 g
-
600 mg – 1 g
500 mg – 3 g
100 mg – 600 mg
150 mg – 300 mg
30 mg – 300 mg
50 mg – 300 mg
30 mg – 300 mg
secukupnya 0 – 0.3 mg
0 – 0.125 mg
tidak ada batasan
tidak ada batasan
-
-
-
0 – 5 mg
0 – 25 mg
-
tidak ada batasan
0 – 7.5 mg
0 – 4 mg
0 – 0.6 mg
0 – 120 mg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar